Friday 15 February 2013


Nurfachri Wardana
XII IPA 4
16
Bukan Sebuah Akhir

Pagi yang cerah, suara mobil berbunyi diluar pagar menandakan bahwa ibu sudah datang. Suaminya pun mulai naik darah. Aku hanya berdiam diri dikamar sedangkan kakakku yang bernama Rian sedang keluar, dari kemarin juga belum datang-datang. Ibu berjalan menuju pintu dengan gaya pincang, sepertinya ibu sedang mabuk. Ayah dengan nada marah menariknya kedalam dan membawanya kekamar mandi untuk menyadarkannya dari mabuk itu. Saya hanya mengintip dibalik pintu kamar saya dengan perasaan prihatin dengan keluargaku sekarang ini.
 Ayah yang dari tadi menahan amarahnya sekarang melampiaskannya dengan satu pukulan dan dua pukulan yang dibebankan kepada ibu. Diapun sadar dan berusaha memberitahunya bahwa ia tidak tau apa-apa terhadap apa yang dilakukannya tadi malam. Tapi ayah tidak mau mendengar dan melanjutkan perbuatan bejatnya tersebut. Aku yang mengintip dari tadi hanya menahan air mata  atas perlakuannya atas ibu. Tiba-tiba ayah melihatku, dengan langkah yang keras dia berjalan cepat ke arahku dan menyuruhku masuk kedalam kamar dengan nada keras. Ayah juga sangat tidak suka kepadaku, sampai sekarang saya juga tidak tahu kenapa beliau benci sama aku.
Keesokan harinya, hari ini sama seperti hari-hari kemarin, melanjutkan aktivitas bersama. Dan aku pun pergi kesekolah dengan perasaan yang tidak seperti biasanya sejak peristiwa tadi malam. Saya termasuk orang yang paling pintar di sekolahku, tapi kedua orang tuaku tidak memperdulikannya, itu yang membuatku sedih padahal aku sangat berusaha keras untuk mencapainya. Mereka hanya sibuk atas pekerjaan kantor mereka dan hampir tidak pernah mengurusiku. Sedangkan kakakku yang bernama Rian seorang Residivis penjara karena didakwa mengedarkan sabu bebas melakukan apapun yang dia mau. Mungkin karena keluargaku termasuk yang paling kaya di kompleksku, jadi kami orang yang sombong terhadap orang lain. Disekolah, Aku mempunyai teman baik namanya Andi yang hidup didalam keluarga yang cukup sederhana. Ia adalah murid teladan disekolahku, ia sangat bijaksana dan dermawan. Terkadang saya lebih suka tinggal disekolah dibandingkan tinggal dirumah. 
Hari demi hari, aku melalui hari demi hari seperti biasanya, penuh dengan air mata dan penderitaan.semua anggota keluargaku berkumpul dirumah termasuk kakakku yang pulang larut malam tadi malam. Sampai bunyi telepon berbunyi, kring kring. Akupun bergegas mengangkatnya.
“Halo, ini dari keluarga Safar, ini dari siapa?”
“Saya ingin bicara dengan pak safar bisa?”
“tentu saja pak” (dengan nada bingung)
Akupun berjalan cepat menuju kamar ayah dan memberitahu bahwa ada yang menelpon. Aku hanya menguping di kamar dan mendengar pembicaraan ayah dengan orang yang menelepon. Saya melihat ayah sangat frustasi dan sangat kebingungan mendengar pembicaraan teleponnya. Aku sangat penasaran apa yang terjadi barusan. Kulihat ayah langsung ganti baju dan bergegas kemobil dan menjalankan mobilnya dengan cepat. Mungkin ada urusan kantor yang cukup mendesak
Sangat cepat waktu berkumpul dengan keluarga, tapi aku sudah merasa puas biarpun cepat tapi itu begitu istimewa. Sedangkan kakakku sibuk dengan sesuatu dikamar. saya merasa penasaran dengan apa yang kakakku lakukan di luar rumah dan akupun mengikutinya.
Jalan kota Makassar sangat ramai siang hari itu Rian turun dari bus dan menuju ke sebuah jembatan penyebrangan dan disitu kulihat banyak anak muda berbaju rocker dan berpakaian tidak rapi. Rian menunjukkan sesuatu kepada mereka dan tidak tahu kenapa mereka langsung memukulinya. Hampir bersamaan ayahku terlihat menyebrang dari seberang jalan dan ingin melihat keributan apa itu. Dan kaget melihat sosok seperti anaknya sedang dikeroyok kumpulan preman. Aku hanya diam ditempat, takut akan terjadi apa-apa denganku. Ayah menolong kakak dan memukuli semua preman itu, tapi apa daya ayahpun kalah mungkin dia sudah tua dan tidak mampu lagi untuk beradu fisik. Dan preman itu pun melarikan diri mendengar sirine polisi. Kakak terbangun dan kaget melihat ayahnya tergeletak.
Akupun bergerak dari persembunyianku dan menolong ayah yang lemas tak berdaya. Untung hanya luka kecil.
Aku berpikir dalam hati.
“ternyata masih ada hati yang disimpan oleh ayah untuk anaknya yang kurang ajar”
Aku terharu didalam hati karena telah melihat keteguhan hati seorang ayah yang menolong anaknya.
Sampai dirumah, ibu tak terlihat batang hidungnya. Dirumah, pintu masih terkunci dan lampu masih menyala. Mungkin ibu sedang bekerja hari ini. Aku dan kakakku membaringkan ayah ketempat tidur. Dan tiba-tiba kakak berlari keluar rumah sambil menahan air matanya. Tinggallah saya bersama ayah dirumah sendirian. Dan merawat ayah dengan seorang diri
Keesokan harinya ibu pulang dan kaget ayah telah dibalut perban. Tapi ibu masih acuh tak acuh terhadap keadaan suaminya tersebut. Aku hanya sedih melihat pemandangan seperti itu. Kakakpun datang dan langsung masuk ke kamar ibunya dan mencuri semua uang didalam lemarinya dan ibu tak bisa melakukan apa-apa begitupun dengan ayah dan saya. Ternyata kakak masih berhubungan dengan preman yang hampir mencabut nyawa ayah itu.
Akupun bergegas kesekolah untuk menuntut ilmu yang diberikan oleh guru. Dan bertemu dengan Andi dan ternyata ia juga mendapatkan masalah yang hampir sama dengan ku. Ia menceritakan semuanya dan akupun menceritakan semuanya juga tentang masalahku. Mendengar ceritanya serasa persahabatan kami makin dekat.
Sore yang sunyi, dirumah kedua orang tuaku terlihat bicara satu sama lain. aku mendengar pernyataan ibu tentang peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Ibu menjelaskan sedetil-detilnya hingga akhirnya ayahpun mengerti dan memohon untuk menerima permintaan maafnya yang terlihat begitu tulus. Keharmonisan hampir terlihat dalam keluarga kami. 
Kakakku datang kerumah dan sambil berlutut di kaki ayah dan ibu sambil menangis menyesali perbuatannya. Kakak melakukannya karena ia sudah jera berhubungan dengan orang-orang itu. Ayah dan ibupun mengirimkannya kepusat rehabilitasi narkoba untuk memulihkan psikologi dan akhlak anaknya tersebut.
Pada hari lain, Andi tak terlihat disekolah dan aku pergi kerumahnya. Sesampai disana terdapat banyak pelayat yang berbaju hitam sambil menangis. Ternyata ayah andi telah meninggal dunia. Andi terlihat sangat terpukul dan sangat depresi karena ayahnya yang telah tiada itu ialah tulang punggung kehidupan keluarganya. Saya berusaha menenangkan andi tapi andi masih tetap menangis, lalu dia mengusirku untuk keluar dari rumahnya dengan nada yang keras dicampur sedih.
“keluar! Keluar dari rumahku!”
“tapi.. kenapa??”
                Tanpa basa-basi dengan perasaan yang masih bingung aku bergegas keluar dari rumah andi. Dan sejak itu ia terus tidak datang kesekolah. Seringkali saya berkunjung kerumahnya dan masih tidak ada orang disana. Lalu aku berpikir bahwa aku telah kehilangan sahabat terbaik yang pernah ada selama kehidupanku.
Berbulan-bulan kemudian, sekolah tampak sunyi tanpa kehadiran andi, dan besok sudah ujian SNM PTN. Aku meminta restu kepada kedua orang tua yang tampaknya sudah mesra sejak rian telah insyaf dari perbuatannya.
Keesokan paginya, aku mencium tangan orang tuaku yang sudah lama aku tak merasakannya dan memberi salam kepada keduanya, mereka pun tersenyum lebar melihat saya berjalan menuju tes SNM PTN. Pada saat tes tidak ada rasa gelisah yang menyelimuti perasaanku karena rasa gelisah itu telah tiada. Aku mengerjakan soal dengan cukup baik. Dan pulang dengan senyum lebar.
Ketegangan menyelimuti untuk menunggu hasil dari tes tersebut. Dan pada saat hari itu tiba, saya dapat nilai yang cukup memuaskan dan lulus di PTN favorit keinginan saya. Orang tua saya sangat bangga akan usaha yang sudah saya lakukan. Tapi tetap saja kesibukan masih ada pada orang tuaku dan bergegas untuk bekerja.
Beberapa bulan kemudian , kedua orang tuaku keluar kota untuk memenuhi panggilan tugas dari presiden RI, Pada saat kedua orang tuaku berkendaraan dengan mobil. Tiba-tiba bencana itu terjadi, mobil kedua orang tuaku terjun kesungai dan jasadnya tidak dapat ditemukan. Saya yang hanya menunggu dirumah untuk menanti kedatangan mereka tidak tahu apa-apa sampai pada suatu malam, perasaanku tidak enak. Padahal esok harinya saya telah memulai kuliahku di PTN favorit itu.
Hari demi hari, sampai pada hari kedatangan orangtuaku dari luar kota saya menunggu mereka dengan antusiasme yg cukup tinggi karena mereka tak sempat merasakan kebahagiaan saya memulai kuliah pertama kalinya. Matahari mulai terbenam dan orangtuaku belum datang-datang. Saya menyalakan TV dan ada kabar berita bahwa mobil yang mirip mobil kedua orang tuaku terjun kesungai dan jasadnya telah ditemukan serta identitas jasad tersebut terkuak. Saya kaget melihat nama yang tertera di layar kaca. Dengan rasa percaya tidak percaya saya mulai menitikkan air mata dan saya telah merasakan apa yang Andi rasakan, ternyata begini rasanya. Sangat sedih dan terpukul telah melihat orang-orang yang sangat termat sangat dekat sama saya telah meninggalkan saya untuk selamanya. Padahal saya ingin membuat orangtuaku bangga atas prestasiku, tapi apa daya tuhan berkata lain, saya belum sempat memberitahu kabar gembira tersebut krn tuhan lebih menyayanginya.
Tahun ke Tahun, saya lulus sebagai wisudawan terbaik di Universitas saya. Saya iri melihat, para wisudawan bergandengan tangan dengan orang tua mereka masing-masing dengan rasa yang amat bangga. Saya sempat mengkhayal jika kedua orangtuaku bisa hadir ditempat ini, pasti mereka sangat bangga dengan saya. Saya ditawari berbagai banyak pekerjaan yang berlevel tinggi. Dan sayapun bekerja di London, inggris sebagai kepala sebuah perusahaan terkemuka disana. Sedangkan kakakku telah sukses di Indonesia sebagai pesepakbola professional dan sering kali bermain di inggris dan bertemu dengan saya. Andi masih tidak ada kabar yang sampai disaya.
Pada suatu hari saya jalan-jalan mengelilingi keindahan kota dan bertemu sosok yang pernah kukenal sebelumnya, ia mengenakan jas rapid an berdasi dan berbusana seperti seorang pengusaha sukses. Ternyata ia adalah Andi.
“oh, anda orang Indonesia?”
“tentu”
“sepertinya saya pernah mengenal anda”
“saya juga berpikir seperti itu”
“ oh ternyata kau Andi, hhaha”
Kami pun bercanda tawa dan mengenang masa lalu yang rumit.
Keluargakupun hidup bahagia, begitupun dengan teman terbaikku. Dan saya harap orang tuaku hidup bahagia di alam sana.